Rebo Wekasan: Menelusuri Tradisi, Dalil, dan Pandangan Ulama dalam Bingkai Islam Nusantara

Rebo Wekasan atau yang sering disebut Rabu Pungkasan, adalah sebuah tradisi yang mengakar kuat di tengah masyarakat Muslim di Indonesia, terutama di Jawa. Tradisi ini dilaksanakan pada hari Rabu terakhir di bulan Safar, bulan kedua dalam kalender Hijriah. Kepercayaan yang melatarbelakangi tradisi ini adalah keyakinan bahwa pada hari tersebut, Allah SWT menurunkan ribuan bala, musibah, dan penyakit ke muka bumi. Namun, seiring berjalannya waktu, tradisi ini berkembang menjadi sebuah manifestasi budaya yang unik, menggabungkan antara kearifan lokal dengan nilai-nilai religius Islam.

Di satu sisi, tradisi ini dipandang sebagai bentuk taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah SWT, dengan harapan dijauhkan dari segala marabahaya. Di sisi lain, Rebo Wekasan juga menjadi subjek perdebatan di kalangan ulama, terutama terkait dasar hukum dan relevansinya dengan ajaran Islam yang murni. Artikel ini akan mengupas tuntas fenomena Rebo Wekasan dari berbagai sudut pandang, mulai dari sejarahnya, pandangan ulama, dalil-dalil terkait, hingga amalan-amalan yang biasa dilakukan oleh masyarakat.

 

1. Sejarah dan Asal-usul Tradisi Rebo Wekasan

Tradisi Rebo Wekasan dipercaya telah ada sejak zaman Walisongo, khususnya di daerah Jawa. Beberapa sumber menyebutkan bahwa tradisi ini berawal dari anjuran seorang wali yang melihat fenomena spiritual terkait hari Rabu terakhir di bulan Safar. Ada yang mengaitkan tradisi ini dengan ulama besar Syekh Abdul Hamid al-Makki, yang dalam kitabnya, Kanz an-Najah wa as-Surur, menyebutkan bahwa pada Rabu terakhir bulan Safar, Allah menurunkan 320 ribu jenis bala atau bencana. Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa pandangan ini merupakan pendapat pribadi ulama dan bukan berasal dari dalil syar’i (hukum syariat) yang kuat dari Al-Qur’an atau hadis sahih.

Tradisi ini kemudian menyebar luas di kalangan masyarakat Jawa, Sunda, Madura, dan Melayu, dan menjadi bagian integral dari budaya mereka. Rebo Wekasan tidak hanya dilihat sebagai hari yang perlu diwaspadai, tetapi juga sebagai momen untuk meningkatkan spiritualitas dan mempererat tali silaturahmi melalui berbagai amalan dan ritual komunal.

 

2. Pandangan Islam terhadap Rebo Wekasan: Antara Dalil dan Kontroversi

Perdebatan mengenai Rebo Wekasan utamanya berpusat pada dua hal: keyakinan tentang kesialan bulan Safar dan dasar hukum amalan-amalan khusus yang dilakukan pada hari tersebut.

A. Keyakinan tentang Kesialan Bulan Safar

Kepercayaan bahwa bulan Safar adalah bulan yang penuh musibah merupakan sisa-sisa tradisi jahiliyah (zaman kebodohan) sebelum Islam. Masyarakat Arab saat itu meyakini bahwa bulan ini membawa sial atau malapetaka. Namun, Rasulullah SAW datang untuk menghapus keyakinan-keyakinan tersebut.

Dalam sebuah hadis sahih riwayat Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم: قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا صَفَرَ وَلَا هَامَةَ. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ

Artinya: “Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, ‘Tidak ada penyakit menular (dengan sendirinya), tidak ada kepercayaan datangnya malapetaka di bulan Safar, dan tidak ada kepercayaan bahwa orang mati itu rohnya menjadi burung yang terbang.'” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Hadis ini secara tegas menolak keyakinan tentang kesialan bulan Safar. Semua kejadian, baik baik maupun buruk, terjadi atas kehendak Allah SWT, bukan karena pengaruh waktu atau hari tertentu. Oleh karena itu, bagi sebagian ulama, meyakini Rebo Wekasan sebagai hari sial atau hari turunnya bala adalah bentuk tathayyur (meyakini pertanda buruk) yang dilarang dalam Islam.

B. Hukum Amalan Khusus Rebo Wekasan

Amalan-amalan yang sering dilakukan pada Rebo Wekasan, seperti shalat khusus tolak bala, menjadi titik fokus kontroversi. Para ulama terbagi menjadi beberapa pandangan:

  1. Pendapat yang Menolak dan Mengharamkan Kelompok ulama ini, termasuk Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), berpendapat bahwa shalat Rebo Wekasan adalah haram. Dasar pandangan ini adalah kaidah fikih yang menyatakan:

    وَالْأَصْلُ فِي الْعِبَادَةِ أَنَّهَا إِذَا لَمْ تُطْلَبْ لَمْ تَصِحَّ

    Artinya: “Hukum asal dalam ibadah apabila tidak dianjurkan (oleh syariat), maka tidak sah.” (Syekh Sulaiman al-Bujairimi, Tuhfah al-Habib, juz 2, hlm. 60).

    Menurut pandangan ini, tidak ada dalil syar’i yang kuat dari Al-Qur’an maupun hadis sahih yang secara spesifik memerintahkan shalat khusus pada hari Rebo Wekasan. Amalan tersebut dianggap sebagai bid’ah (perbuatan baru dalam ibadah) yang tidak memiliki dasar.

  2. Pendapat yang Membolehkan dengan Syarat Sebagian ulama lain, seperti Syekh Abdul Hamid bin Muhammad Quds al-Makki, membolehkan shalat pada Rebo Wekasan, tetapi dengan syarat. Shalat yang dilakukan tidak boleh diniatkan sebagai shalat khusus Rebo Wekasan, melainkan sebagai shalat sunnah mutlak. Shalat sunnah mutlak adalah shalat yang tidak terikat oleh waktu atau sebab tertentu.

    Syekh Abdul Hamid bin Muhammad Quds al-Makki dalam kitabnya, Kanz an-Najah wa as-Surur, menjelaskan:

    قُلْتُ: وَمِثْلُهُ صَلَاةُ صَفَرٍ، فَمَنْ أَرَادَ الصَّلَاةَ فِي وَقْتِ هَذِهِ الْأَوْقَاتِ فَلْيَنْوِ النَّفْلَ الْمُطْلَقَ فُرَادَى، مِنْ غَيْرِ عَدَدٍ مُعَيَّنٍ، وَهُوَ مَا لَا يَتَقَيَّدُ بِوَقْتٍ، وَلَا سَبَبٍ، وَلَا حَصْرَ لَهُ. اِنْتَهَى.

    Artinya: “Aku berpendapat, termasuk yang diharamkan adalah shalat Safar (Rebo Wekasan). Maka barang siapa menghendaki shalat di waktu-waktu yang terlarang tersebut, hendaknya niatnya adalah shalat sunnah mutlak secara sendirian tanpa jumlah rakaat tertentu, yaitu shalat yang tidak dibatasi oleh waktu, sebab, dan jumlah.”

    Dengan demikian, shalat yang dilakukan dengan niat ushalli sunnatan rak’ataini lillahi ta’ala (saya niat shalat sunnah dua rakaat karena Allah ta’ala) dianggap sah dan tidak bermasalah, asalkan bukan diniatkan secara khusus untuk Rebo Wekasan. Amalan ini lebih dipandang sebagai bentuk ikhtiar (upaya) spiritual untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memohon perlindungan dari segala musibah.

3. Amalan yang Dianjurkan Menurut Perspektif Ulama

Terlepas dari perdebatan di atas, para ulama sepakat bahwa amalan-amalan yang dilakukan pada Rebo Wekasan yang tidak bertentangan dengan syariat Islam adalah amalan yang baik dan sangat dianjurkan. Amalan ini bertujuan untuk menolak bala dan mendatangkan rahmat dari Allah SWT. Beberapa amalan tersebut antara lain:

  1. Memperbanyak Doa dan Dzikir Doa adalah senjata ampuh bagi seorang mukmin. Dengan berdoa, seorang hamba mengakui kelemahan dirinya di hadapan Sang Pencipta dan memohon pertolongan hanya kepada-Nya. Doa tolak bala yang sering diamalkan adalah:

    بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ. وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ. اللّٰهُمَّ يَا شَدِيدَ الْقُوَّةِ وَيَا شَدِيدَ الْمِحَالِ، يَا عَزِيْزُ ذَلَّتْ لِعِزَّتِكَ جَمِيعُ خَلْقِكَ، اِكْفِنِيْ مِنْ شَرِّ جَمِيعِ خَلْقِكَ، يَا مُحْسِنُ يَا مُجْمِلُ يَا مُتَفَضِّلُ يَا مُنْعِمُ يَا مُكْرِمُ، يَا مَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ، بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ. اللّٰهُمَّ بِسِرِّ الْحَسَنِ وَأَخِيهِ وَجَدِّهِ وَأَبِيهِ وَأُمِّهِ وَبَنِيهِ، اِكْفِنِيْ شَرَّ هٰذَا الْيَوْمِ وَمَا يَنْزِلُ فِيهِ، يَا كَافِيَ الْأُمُوْرِ كُلِّهَا، يَا دَافِعَ الْبَلَايَا، سَيَكْفِيْكَهُمُ اللهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ. وَحَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ. وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيمِ. وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.

    Artinya: “Dengan nama Allah, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Semoga shalawat dan salam terlimpahkan kepada Sayyidina Muhammad, keluarga, dan para sahabatnya. Ya Allah, wahai Yang Maha Kuat dan Maha Hebat, wahai Yang Maha Perkasa yang tunduk kepada-Mu semua makhluk-Mu, cukupkanlah aku dari kejahatan semua makhluk-Mu. Wahai Yang Maha Baik, Yang Maha Indah, Yang Maha Pemurah, Yang Maha Pemberi Nikmat, Yang Maha Mulia, wahai yang tiada Tuhan selain Engkau, limpahkanlah rahmat-Mu padaku, wahai Yang Maha Paling Penyayang di antara para penyayang. Ya Allah, dengan rahasia (kemuliaan) Hasan, saudaranya, kakeknya, ayahnya, ibunya, dan anak-anaknya, cukupkanlah aku dari kejahatan hari ini dan apa yang turun pada hari ini. Wahai Yang Mencukupi segala urusan, wahai Yang Menghilangkan segala bencana, Allah akan mencukupi (melindungi) kalian dari mereka dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Cukuplah Allah menjadi Penolong kami, dan Dia adalah sebaik-baik Pelindung. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah, Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. Semoga shalawat dan salam terlimpahkan kepada Sayyidina Muhammad, keluarga, dan para sahabatnya.”

  2. Bersedekah Rasulullah SAW bersabda:

    بَادِرُوا بِالصَّدَقَةِ، فَإِنَّ الْبَلَاءَ لَا يَتَخَطَّى الصَّدَقَةَ.

    Artinya: “Segeralah bersedekah, karena sesungguhnya bala (bencana) itu tidak akan melewati sedekah.” (HR. Imam Al-Tirmidzi).

    Bersedekah menjadi salah satu amalan yang sangat dianjurkan untuk menolak bala. Sedekah tidak hanya mendatangkan pahala, tetapi juga memberikan perlindungan dari musibah.

  3. Membaca Al-Qur’an dan Majelis Ilmu Mengadakan majelis zikir, khataman Al-Qur’an, atau majelis ilmu adalah amalan yang mendatangkan rahmat dan ketenangan. Membaca Al-Qur’an, terutama surat-surat yang memiliki keutamaan, seperti Surat Yasin, juga merupakan bentuk taqarrub yang sangat baik.

    Rasulullah SAW bersabda tentang keutamaan membaca Al-Qur’an:

    مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ، وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا. لَا أَقُولُ: الم حَرْفٌ، وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ، وَلَامٌ حَرْفٌ، وَمِيمٌ حَرْفٌ.

    Artinya: “Barang siapa membaca satu huruf dari Kitabullah (Al-Qur’an), maka baginya satu kebaikan. Dan satu kebaikan itu dibalas dengan sepuluh kali lipatnya. Aku tidak mengatakan ‘Alif Lam Mim’ itu satu huruf, akan tetapi Alif satu huruf, Lam satu huruf, dan Mim satu huruf.” (HR. At-Tirmidzi).

Penutup

Rebo Wekasan adalah fenomena yang kompleks, di mana nilai-nilai budaya dan keyakinan spiritual saling berkelindan. Sebagai umat Muslim, penting untuk memahami bahwa segala sesuatu, termasuk bala dan musibah, datang dari Allah SWT. Kita tidak perlu meyakini bahwa hari atau bulan tertentu membawa kesialan. Namun, semangat untuk mendekatkan diri kepada Allah, memohon perlindungan, dan memperbanyak amalan baik adalah hal yang sangat dianjurkan.

Copyright © 2025 Graha Alquraniyah