Para sederekku, para sanak kadangku,
Mari kita sejenak merenung. Kita ini, sebagai umat Islam, seringkali merasa ada jurang pemisah. Kadang kita merasa paling benar, paling suci, lalu dengan mudahnya memecah belah barisan. Kita lupa, bahwa kekuatan kita bukan terletak pada banyaknya jumlah, melainkan pada kokohnya persaudaraan.
Dulu, di masa Rasulullah ﷺ, ada sebuah peristiwa yang menjadi bukti nyata bagaimana persaudaraan bisa mengubah segalanya. Kisah hijrah, sebuah perjalanan yang tidak hanya berpindah tempat, tetapi juga berpindah dari keterasingan menuju kebersamaan.
Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya, kaum Muhajirin, meninggalkan segala yang mereka punya di Makkah. Mereka pergi dengan hati yang penuh kerelaan, demi menyelamatkan akidah. Mereka datang ke Madinah, sebuah kota yang asing, dengan tangan kosong.
Lalu, apa yang terjadi?
Di Madinah, ada kaum Anshar, para penduduk asli Madinah yang dengan lapang dada menyambut kedatangan kaum Muhajirin. Mereka tidak hanya memberikan tempat tinggal, tetapi mereka bagikan separuh harta mereka.
Bukankah ini sebuah mukjizat?
Bagaimana mungkin orang-orang yang tidak saling kenal, bisa dengan begitu mudahnya membagi harta mereka, bahkan rela membagi istri mereka (bagi yang tidak punya)? Ini bukan sekadar bantuan, ini adalah ukhuwah, sebuah persaudaraan yang dibangun di atas fondasi iman.
Fondasi Persaudaraan dalam Islam
Dalam Islam, persaudaraan bukan sekadar ikatan darah atau kepentingan, melainkan ikatan iman. Allah ﷻ berfirman dalam QS. Al-Hujurat [49]: 10:
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.”
Ayat ini menegaskan, bahwa persaudaraan itu adalah sebuah kenyataan, bukan sekadar anjuran. Jika kita mengaku beriman, maka sudah seharusnya kita merasa bersaudara dengan sesama muslim.
Rasulullah ﷺ pun bersabda:
HR. Bukhari dan Muslim
Artinya: “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai, saling mengasihi, dan saling berempati adalah seperti satu tubuh. Apabila satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh akan ikut merasakan sakit dengan tidak bisa tidur dan demam.”
Ini adalah gambaran sempurna tentang ukhuwah. Tidak ada yang lebih penting dari yang lain. Semuanya satu kesatuan.
Mengapa Ukhuwah Muhajirin dan Anshar Begitu Istimewa?
Kisah ini bukanlah dongeng. Ia adalah sejarah yang penuh pelajaran.
1. Cinta yang Melebihi Harta
Kaum Anshar tidak hanya memberikan harta, mereka memberikan cinta. Mereka tahu, kaum Muhajirin butuh lebih dari sekadar uang. Mereka butuh rasa aman, rasa memiliki, dan rasa dicintai.
Anas bin Malik RA meriwayatkan, “Ketika kaum Muhajirin datang, Rasulullah ﷺ mempersaudarakan Abdurrahman bin Auf dengan Sa’ad bin Ar-Rabi’. Sa’ad berkata kepada Abdurrahman, ‘Aku adalah orang Anshar yang paling banyak hartanya. Aku akan membagi dua hartaku denganmu. Dan aku punya dua istri, lihatlah mana yang lebih kamu sukai, aku akan menceraikannya untukmu.'”
Abdurrahman bin Auf menjawab, “” (Semoga Allah memberkahi keluarga dan hartamu. Tunjukkan saja kepadaku di mana pasar.)
Lihatlah, Abdurrahman bin Auf tidak ingin merepotkan saudaranya. Ia ingin berjuang sendiri. Ini menunjukkan, bahwa persaudaraan mereka bukan didasari oleh kepentingan, melainkan oleh keimanan.
2. Menghapus Perbedaan Suku dan Status Sosial
Sebelum kedatangan Islam, Madinah dikenal sebagai kota yang penuh dengan perselisihan antara suku Aus dan Khazraj. Persaudaraan Muhajirin dan Anshar berhasil menghapuskan permusuhan yang telah berlangsung puluhan tahun.
Al-Qur’an mengabadikan hal ini dalam QS. Ali Imran [3]: 103:
Artinya: “Dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-unya kamu menjadi bersaudara.”
Islam adalah agama yang menyatukan, bukan memecah belah.
Bagaimana Kita Mencontoh Ukhuwah Ini Hari Ini?
Saudaraku, kita hidup di zaman yang penuh fitnah. Media sosial seringkali menjadi medan pertempuran, di mana kita dengan mudahnya menghina, memaki, dan memecah belah.
Mari kita belajar dari kaum Muhajirin dan Anshar.
- Hapus Prasangka Buruk: Jangan mudah berprasangka buruk kepada sesama muslim. Sebelum menghakimi, tanyakanlah pada diri sendiri, “Apakah saya sudah mengenal saudara saya ini?”
- Berbagi, Meski Sedikit: Tidak perlu membagi separuh harta. Cukuplah berbagi senyuman, berbagi waktu, atau berbagi ilmu. Sesuatu yang kecil, jika diberikan dengan hati yang tulus, akan menjadi besar.
- Utamakan Memaafkan: Perselisihan pasti terjadi. Namun, jangan biarkan ia berlarut-larut. Maafkanlah kesalahan orang lain, sebagaimana Rasulullah ﷺ memaafkan. Memaafkan tidak akan membuat kita rugi, justru akan mengangkat derajat kita di sisi Allah.
- Menghargai Perbedaan: Kita tidak harus seragam. Perbedaan pendapat dalam masalah furu’iyyah (cabang) adalah hal biasa. Jangan jadikan perbedaan itu sebagai alasan untuk bermusuhan.
Saudaraku, persaudaraan adalah kunci. Jika kita kokoh dalam persaudaraan, maka kita akan menjadi umat yang kuat, yang tidak mudah digoyahkan oleh fitnah dan cobaan.
Mari kita kembali kepada esensi ajaran Islam. Mari kita kembali kepada ukhuwah yang dicontohkan oleh Muhajirin dan Anshar.
Semoga Allah ﷻ senantiasa mempersatukan hati kita, dan menjadikan kita umat yang saling mencintai dan saling mengasihi.