Dalam diskursus kebangsaan, konsep bela negara seringkali dipahami dalam konteks formal dan militeristik. Namun, bagi umat Islam, bela negara memiliki makna yang jauh lebih luas dan mendalam, berakar pada ajaran agama yang menempatkan cinta tanah air sebagai bagian integral dari iman. Hubungan antara Islam dan nasionalisme di Indonesia bukanlah sebuah pertentangan, melainkan perpaduan harmonis yang telah terbukti dalam sejarah panjang perjuangan kemerdekaan. Artikel ini akan mengupas tuntas bagaimana Islam memandang bela negara, mulai dari dalil-dalil dasarnya hingga implementasinya dalam konteks keindonesiaan.
1. Nasionalisme dan Cinta Tanah Air (Hubbul Wathan): Fondasi Bela Negara dalam Islam
Seringkali muncul pertanyaan, apakah nasionalisme bertentangan dengan ajaran Islam yang universal? Jawabannya, tidak. Islam tidak menafikan keberadaan bangsa dan negara, melainkan justru mengaturnya dalam sebuah bingkai yang lebih besar, yaitu persatuan umat manusia. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Ayat ini secara jelas mengakui keberadaan “suku-suku” dan “bangsa-bangsa” sebagai realitas sosial yang diciptakan oleh Allah. Oleh karena itu, mencintai tanah tempat di mana kita lahir, tumbuh, dan hidup, adalah sebuah fitrah. Para ulama Nusantara telah merumuskan konsep ini dengan indah melalui adagium populer:
حُبُّ الْوَطَنِ مِنَ الْإِيمَانِ
Artinya: “Cinta tanah air adalah sebagian dari iman.”
Meskipun adagium ini bukan hadis Nabi Muhammad SAW secara lafadz (redaksi), maknanya sangat sejalan dengan semangat ajaran Islam. Rasulullah SAW sendiri menunjukkan rasa cintanya yang mendalam kepada kota Mekah. Ketika hijrah, beliau menengok ke arah Mekah dan bersabda:
مَا أَطْيَبَكِ مِنْ بَلَدٍ، وَأَحَبَّكِ إِلَيَّ! وَلَوْلَا أَنَّ قَوْمِي أَخْرَجُونِي مِنْكِ مَا سَكَنْتُ غَيْرَكِ
Artinya: “Alangkah indahnya dirimu sebagai negeri, dan alangkah cintanya aku kepadamu. Seandainya kaumku tidak mengusirku dari dirimu, niscaya aku tidak akan tinggal di negeri lain.” (HR. At-Tirmidzi)
Hadis ini menunjukkan bahwa kecintaan kepada tanah air adalah sebuah naluri kemanusiaan yang juga dicontohkan oleh Nabi SAW. Oleh karena itu, membela dan menjaga tanah air adalah manifestasi dari kecintaan tersebut, yang pada gilirannya merupakan bagian dari kesempurnaan iman seorang Muslim.
2. Konsep Jihad dan Relevansinya dengan Bela Negara
Dalam Islam, konsep bela negara seringkali dikaitkan dengan makna jihad. Namun, perlu dipahami bahwa jihad memiliki makna yang sangat luas, tidak hanya terbatas pada perang fisik. Secara bahasa, jihad berarti “bersungguh-sungguh” atau “mengerahkan segala upaya”. Konsep jihad mencakup:
- Jihad an-Nafs: Perjuangan melawan hawa nafsu.
- Jihad al-Mal: Berjuang dengan harta.
- Jihad al-Ilm: Berjuang dengan ilmu.
- Jihad fi Sabilillah: Berjuang di jalan Allah, yang bisa berbentuk fisik maupun non-fisik.
Dalam konteks bela negara, jihad fi sabilillah dapat diartikan sebagai perjuangan untuk mempertahankan kedaulatan, kehormatan, dan keamanan negara dari ancaman, baik dari dalam maupun luar. Konsep ini sejalan dengan pandangan para ulama yang menempatkan bela negara sebagai jihad daf’i (jihad bertahan) atau jihad difa’ (jihad defensif). Hukumnya adalah fardhu ‘ain (wajib bagi setiap individu) jika negara dalam keadaan terancam atau diserang oleh musuh.
Dalil Al-Qur’an tentang perintah untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi musuh adalah:
وَأَعِدُّوا لَهُم مَّا اسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّةٍ وَمِن رِّبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ
Artinya: “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu.” (QS. Al-Anfal: 60)
Ayat ini menggarisbawahi pentingnya kesiapsiagaan dan kewajiban untuk menjaga keamanan negara. Bela negara, dalam konteks modern, tidak hanya sebatas angkat senjata, tetapi juga mencakup berbagai aspek kehidupan, seperti menjaga stabilitas ekonomi, kedaulatan politik, ketahanan sosial, dan keamanan siber.
3. Bela Negara sebagai Kewajiban Syar’i dan Tanggung Jawab Warga Negara
Bela negara dalam pandangan Islam adalah sebuah kewajiban yang didasarkan pada beberapa prinsip utama:
A. Ketaatan kepada Pemimpin yang Sah
Islam memerintahkan umatnya untuk taat kepada pemimpin atau ulil amri selama perintahnya tidak bertentangan dengan syariat. Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An-Nisa: 59)
Dalam konteks negara, ulil amri adalah pemerintah yang sah. Bela negara merupakan wujud dari ketaatan kepada ulil amri dalam menjaga keamanan dan kedaulatan bangsa.
B. Menjaga Kehidupan dan Harta
Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan perlindungan terhadap jiwa (hifzh an-nafs) dan harta (hifzh al-mal). Perang untuk mempertahankan diri dari agresi atau serangan musuh adalah upaya untuk menjaga kedua hal tersebut. Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُونَ دِينِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُونَ دَمِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُونَ أَهْلِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ
Artinya: “Barang siapa terbunuh karena membela hartanya, ia mati syahid. Barang siapa terbunuh karena membela agamanya, ia mati syahid. Barang siapa terbunuh karena membela jiwanya, ia mati syahid. Dan barang siapa terbunuh karena membela keluarganya, ia mati syahid.” (HR. At-Tirmidzi dan An-Nasa’i)
Hadis ini dapat diperluas maknanya untuk mencakup pembelaan terhadap negara, yang di dalamnya terdapat harta, kehormatan, jiwa, dan keluarga.
4. Kontribusi Ulama dan Santri dalam Bela Negara di Indonesia
Sejarah Indonesia adalah bukti nyata bahwa umat Islam, melalui para ulama dan santri, memainkan peran sentral dalam perjuangan kemerdekaan. Nasionalisme dan patriotisme telah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas keislaman mereka.
- Resolusi Jihad KH. Hasyim Asy’ari: Salah satu momen paling monumental adalah ketika KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. Fatwa ini menyerukan kepada seluruh umat Islam untuk berjuang melawan penjajah Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia. Resolusi ini menyatakan bahwa berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia adalah fardhu ‘ain bagi setiap Muslim yang berada dalam jarak tertentu. Fatwa ini menjadi pemicu pertempuran 10 November di Surabaya yang heroik, di mana santri dan masyarakat berjuang gigih melawan tentara sekutu.
- Kontribusi Para Ulama Lain: Selain KH. Hasyim Asy’ari, banyak ulama lain seperti KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) yang berjuang melalui jalur pendidikan dan sosial untuk membebaskan bangsa dari kebodohan, serta para pejuang kemerdekaan lain yang merupakan tokoh Islam, seperti Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, dan Teuku Umar.
- Fatwa MUI tentang Bela Negara: Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah menegaskan pentingnya bela negara. Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Prof. Din Syamsuddin, pernah menyatakan bahwa wajib bagi seorang Muslim untuk membela negaranya. MUI memandang bela negara tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara mental dan spiritual. Bela negara bagi kaum Muslim tidak hanya strategis, tetapi juga mengandung aspek teologis.
5. Implementasi Bela Negara dalam Kehidupan Sehari-hari
Dalam konteks kekinian, bela negara tidak selalu berarti mengangkat senjata. Ada banyak cara untuk mengamalkannya, sejalan dengan prinsip-prinsip Islam:
- Menjaga Persatuan dan Kesatuan: Islam mengajarkan pentingnya persatuan (ukhuwah). Menjaga persatuan dan menghindari perpecahan adalah bentuk bela negara. Allah SWT berfirman:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
Artinya: “Dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali (agama) Allah secara keseluruhan, dan janganlah kamu bercerai berai.” (QS. Ali ‘Imran: 103)
- Berpartisipasi dalam Pembangunan: Bela negara adalah kontribusi aktif dalam membangun bangsa. Seorang Muslim yang bekerja keras, jujur, dan profesional untuk memajukan negaranya adalah bentuk ibadah dan bela negara. Ini sejalan dengan konsep ihsan (berbuat yang terbaik) dalam segala hal.
- Memerangi Korupsi dan Kejahatan: Korupsi adalah salah satu ancaman nyata bagi kedaulatan negara. Memerangi korupsi dan segala bentuk kejahatan adalah bentuk bela negara. Allah SWT berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl: 90)
Penutup
Bela negara dalam pandangan Islam adalah sebuah kewajiban yang berlandaskan pada dalil-dalil syar’i yang kuat. Ia bukan sekadar konsep politik, melainkan manifestasi dari keimanan, ketaatan, dan tanggung jawab seorang Muslim terhadap tanah airnya. Sejarah telah membuktikan bahwa umat Islam di Indonesia telah menjadi garda terdepan dalam mempertahankan dan membangun bangsa. Dengan memahami bela negara secara komprehensif, umat Islam dapat terus berkontribusi dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, menjadikan negara ini sebagai baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur, sebuah negeri yang baik dan makmur, di bawah ampunan Allah SWT.