Ketika saya melihat media sosial hari ini, rasanya seperti menonton tayangan berita yang tak pernah usai. Ruang-ruang digital yang seharusnya jadi ajang berbagi ilmu, kini seringkali disesaki dengan perdebatan, hoaks, bahkan caci maki. Dakwah yang harusnya sejuk, malah terkadang jadi bahan bakar yang memanaskan suasana.
Di tengah hiruk pikuk polarisasi ini, kita perlu kembali. Kembali pada sosok yang diutus bukan hanya untuk umatnya, tetapi untuk seluruh alam: Nabi Muhammad SAW. Beliau bukan hanya seorang orator ulung, tetapi juga seorang master of communication yang berdakwah dengan cara yang paling efektif—dengan hati dan akhlak mulia. Lalu, bagaimana kita bisa meneladani strategi dakwah beliau di era digital yang serba cepat dan penuh tantangan ini?
1. Dakwah dengan Hati, Bukan dengan Nafsu
Allah SWT berfirman:
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl: 125)
Ayat ini adalah fondasi. “Hikmah” berarti kebijaksanaan. Dakwah itu bukan hanya soal apa yang kita sampaikan, tapi juga bagaimana kita menyampaikannya. Kita harus tahu kapan harus bicara, kapan harus diam, dan kapan harus menyentuh hati.
Di masa kini, seringkali kita terjebak pada narasi yang emosional. Kita lebih suka memaki daripada memahami. Padahal, Rasulullah mengajarkan kita untuk mengedepankan kasih sayang. Contohnya, saat seorang Badui buang air kecil di masjid, para sahabat marah. Tapi Rasulullah justru melarang mereka, “Jangan hentikan dia, biarkan dia sampai selesai.” Setelah selesai, beliau menyuruh para sahabat membersihkan kotoran itu. Sikap ini adalah contoh nyata bagaimana beliau berdakwah dengan hikmah dan mau’izhah hasanah.
Dalam konteks digital, hikmah ini bisa berarti:
- Memeriksa fakta sebelum membagikan informasi.
- Menggunakan bahasa yang santun, bahkan saat berbeda pendapat.
- Fokus pada solusi, bukan hanya kritik.
2. Membangun Jembatan, Bukan Tembok
Rasulullah adalah sosok yang tak lelah membangun jembatan. Jembatan antara Muhajirin dan Ansar, antara Muslim dan non-Muslim. Piagam Madinah adalah salah satu bukti nyata bagaimana beliau merajut keberagaman dalam satu harmoni. Beliau tidak mendakwahi dengan cara menyingkirkan, tetapi dengan cara merangkul.
Bagaimana relevansinya hari ini? Media sosial seringkali menjadi tembok yang memisahkan kita. Kita lebih nyaman berada di dalam “gelembung” yang berisi orang-orang sepemikiran. Padahal, dakwah itu harus keluar dari gelembung itu. Dakwah adalah tentang menjalin silaturahmi, tentang menunjukkan kebaikan Islam, tentang menjadi representasi yang paling baik.
Strategi ini menuntut kita untuk:
- Berempati: Cobalah memahami sudut pandang orang lain, bahkan yang tidak sependapat dengan kita.
- Membangun dialog: Jangan hanya bicara, tapi dengarkan. Dengarkan keluh kesah, keraguan, dan pertanyaan orang lain.
- Berbagi kebaikan: Biarkan akhlak kita menjadi “jembatan” yang menghubungkan.
3. Keteladanan, Senjata Paling Ampuh
Kita bisa bicara ribuan kata di media sosial, tapi yang paling efektif adalah satu perbuatan nyata. Rasulullah tidak hanya menyeru, tapi beliau juga mencontohkan.
Allah SWT berfirman:
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (QS. Al-Ahzab: 21)
Ini bukan sekadar ayat, ini adalah perintah. Menjadi uswah hasanah (teladan yang baik) adalah bentuk dakwah yang paling efektif. Di era digital ini, setiap postingan, setiap komentar, bahkan setiap “like” kita adalah cerminan dari diri kita. Jika kita ingin dakwah diterima, maka akhlak kita harus lebih dahulu diterima.
Mari kita jujur, dakwah yang paling kuat bukanlah yang dilantunkan dari mimbar, atau yang di-viral-kan di TikTok. Dakwah yang paling kuat adalah yang kita jalani dalam kehidupan sehari-hari: kejujuran kita dalam berdagang, kebaikan kita pada tetangga, dan sikap kita yang toleran.
Penutup: Merajut Kembali Kebaikan
Dakwah di era modern adalah tantangan, tapi juga peluang. Tantangan karena ruang digital penuh dengan kebisingan, dan peluang karena jangkauannya yang luar biasa luas. Namun, kuncinya tetap sama: kembali pada ajaran Nabi Muhammad SAW.
Jangan biarkan dakwah kita menjadi ajang adu dalil dan adu ego. Jadikan dakwah sebagai jembatan untuk merajut kembali persaudaraan, untuk menyebarkan cinta, dan untuk menjadi rahmatan lil ‘alamin. Karena, pada akhirnya, yang akan diingat bukanlah seberapa keras suara kita, tetapi seberapa besar kasih sayang yang kita tebarkan.